Article Detail

UU Perlindungan Anak VS Peran Guru

Sejak munculnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, banyak bermunculan kasus-kasus yang terkaitan dengan tuduhan tidak kekerasan kepada anak. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat dalam upaya memberi rasa nyaman dan aman kepada anak. Dilain pihak muncul polemik dalam masyarakat, utamanya dikalangan para guru dalam fungsinya sebagai pendidik ketiga bagi anak.

Sebagai contoh, seorang guru SMK di Bone menampar murid yang tak patuhi aturan sekolah, dilaporkan ke kepolisian (www.kompas.com/29 Januari 2013). Banyak sekali yang tidak setuju terhadap perilaku guru ini. Seorang pendidik yang mestinya menjadi teladan tapi mencontohkan keburukan pada anak didiknya. Tapi tak sedikit pula yang membela secara tegas. Harus dilihat dan ditelaah dulu bagaimana kronologis, hingga seorang guru harus menampar siswanya.

Anda yang terlahir di era 90-an atau sebelumnya pasti pernah mengalami kekerasan model tamparan, jeweran kuping, cubitan, jeweran jambang atau lecutan rotan oleh guru di sekolah. Jeweran kuping dan sejenisnya itu menjadi sanksi keras dari guru jika siswanya melanggar aturan di sekolah.

Bagaimana jika model sanksi fisik serupa di atas terjadi saat ini? Mungkin pihak sekolah akan sibuk mengurusi gurunya yang sebentar-sebentar dipanggil oleh kepolisian, karena dilaporkan oleh orang tua siswa. Atau  yang terjadi di sekolah-sekolah pinggiran atau daerah dimana superioritas orang tua dan siswa ditampakkan melalui kekuatan fisik maupun psikis. Guru “menegur” siswa yang melanggar aturan, siswa tersebut tidak terima dengan kalimat teguran yang dilontarkan guru dan melaporkannya ke orang tua. Guru tersebut diancam pidana karena melakukan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak. Guru divonis melakukan kekerasan dan penganiayaan kepada anak. Ancamannya pun sungguh mengerikan yaitu 5 tahun penjara.

Keterbukaan dan euforia demokrasi dan hak asasi manusia secara absolut yang terjadi, akhirnya mematikan dan meng-absurd-kan peran guru secara substantif dan filosofis. Peran guru didistorsi sekedar pekerja profesional dunia birokrat semata. Tak jarang seorang guru mendengar dari siswanya, “kan saya sudah bayar pak”.  Relasi antara guru, siswa, dan orang tua yang menitipkan anaknya adalah relasi ekonomis-transaksional-intelektual. Tidak ada lagi “relasi kebudayaan”, “relasi moral” dan “relasi sosial”yang hidup antara siswa-guru sebagaimana terjadi di era 90-an atau sebelumnya. Apabila hal ini terus berlanjut, maka tujuan pendidikan hanya sekedar harapan.

Selanjutnya, mari kita lihat beberapa peraturan perundang-undangan, sehingga sebagai guru yang ikut ambil bagian dalam upaya mencerdaskan bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan, tidak perlu takut dalam bertindak, melakukan sesuatu demi perkembangan peserta didiknya.

Anak, menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Tujuan dari Undang-Undang ini untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Bab ke III telah tertuang Hak dan Kewajiban Anak sebagai berikut.

Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Hak ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak)

Pasal 5

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

Pasal 6

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. (Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada anak dalam rangka mengembangkan kreativitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia anak. Ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa pengembangan tersebut masih tetap harus berada dalam bimbingan orang tuanya.)

Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9

1. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

2. Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 12

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

(Hak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.)

Pasal 13

1. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;(Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental)
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; (Perlakuan ekploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan)
c. penelantaran;(Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya)
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;(Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial)
e. ketidakadilan;(Perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak)
f. perlakuan salah lainnya. (Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak.

2. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 15

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

1. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

2. pelibatan dalam sengketa bersenjata;

3. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

4. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

5. pelibatan dalam peperangan.

(Perlindungan dalam ketentuan ini meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung, dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan psikis)

Pasal 16

1. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
3. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17

Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

1. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
2. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; (Yang dimaksud dengan bantuan lainnya misalnya bimbingan sosial dari pekerja sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater, atau bantuan dari ahli bahasa)
3. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
4. setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Pasal 19

Setiap anak berkewajiban untuk :

1. menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia

 

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen dapat dikatakan sebagai penyeimbang Undang-Undang Nomor 23  di atas, dalam rangka mencari solusi yang tepat demi lancarnya proses pendidikan di Indonesia. Namun dalam pembahasannya UU Tentang Guru dan Dosen tersebut lebih cenderung pada kesejahteraan guru. Sehingga perlindungan guru dan dosen dalam melaksanakan terkesan terabaikan, hal ini terkait sibuknya guru dan berbagai pihak dalam mencari kesejahteraan sehingga melupakan beberapa pasal berikut.

 Pasal 6

Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,  cakap,  kreatif,  mandiri,  serta  menjadi  warga  negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

 Pasal 7

Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:

1. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
2. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
3. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
4. memiliki kompetensi  yang diperlukan sesuai  dengan bidang tugas;
5. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
6. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
7. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan  secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
8. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
9. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur   hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

 Pasal 14

1. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

a. memperoleh penghasilan di  atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh  perlindungan  dalam  melaksanakan  tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki  kebebasan  dalam  memberikan  penilaian  dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang- undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
i. memperoleh  kesempatan  untuk  mengembangkan  dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
j. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

2. Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  hak  guru  sebagaimana dimaksud pada  ayat ( 1)  diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Dengan demikian, guru tidak perlu takut dalam memberikan sanksi kepada peserta didik, dan sebaliknya peserta didik tidak perlu takut dengan guru. Karena semua telah diatur dalam perundang-undangan.

Apabila kedua belah pihak, guru, peserta didik, maupun orang tua menyadari tugas dan fungsi masing-masing, maka berbagai kasus yang terjadi tidak akan muncul dipermukaan. Kecuali jika munculnya kasus kekerasan tersebut atas dasar ‘kepentingan” dari oknum-oknum guru, peserta didik maupun orang tua sendiri untuk tujuan yang tidak baik, dengan memanfaatkan kelemahan hukum di Indonesia.

Tulisan ini bermaksud menyampaikan referensi, semoga memberikan pemahaman dan pencerahan.

Penulis :
Albert Heru Wicaksono

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment